Wednesday, November 9, 2011

Ibu Hamil Tidak Harus Minum Susu

Pada postingan sebelumnya saya bilang bahwa minum susu secara langsung merupakan salah satu penyebab timbulnya mual yang sudah pasti akan berakhir dengan muntah bagi diri saya. Padahal sebelumnya saya adalah penggemar susu UHT rasa coklat, bahkan sampai usia kandungan sebelum 8w pun saya masih mengkonsumsi susu.

Banyak orang yang kontra ketika mengetahui hal ini, bahkan dokter kandungan saya sendiri pun sebenarnya termasuk yang menganut paham Ibu Hamil Harus Minum Susu !!!
Kalau hal ini dipaksakan sudah pasti akan membuat diri saya sangat menderita karena mengalami 'keterpaksaan' untuk meminumnya. Sedangkan saya sangat ingin menikmati  kehamilan ini yang sudah pasti setiap prosesnya harus disertai dengan unsur kebahagiaan.

Lagipula saya yakin, semua kandungan yang terdapat dalam susu ibu hamil bisa didapat juga dari makanan lain. 

Akhirnya saya mulai rajin untuk mencari tahu info2 pendukung bagi diri saya untuk tidak minum susu. Alhamdulillah, akhirnya bertemu dengan artikel ini yang ternyata sangat bermanfaat juga membuka mata, hati dan pikiran saya :-) 

Kalaupun ingin mengkonsumsi maka saya lebih pilih youghurt, cream soup atau pun susu UHT saya buat menjadi puding. Pokoknya pilih yang sudah menjadi makanan enak :-)

Ibu Hamil Tidak Wajib Minum Susu!


Semua kandungan nutrisi yang terdapat dalam susu bisa dipenuhi dari makanan. Bahkan, lebih aman.

Artika Yulianti (31 tahun) susah payah menghabiskan segelas susu yang dibuatkan oleh Alfons, suaminya. Perempuan yang berdomisili di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, itu bahkan harus memencet kedua lubang hidungnya supaya tidak muntah.
Meskipun mengaku tidak doyan dan sering kembung usai meminumnya, tekad Tika untuk minum susu memang sangat kuat. Sebab, ia dan suaminya percaya, susu sapi – apalagi yang khusus untuk kehamilan – sangat penting bagi pertumbuhan bayi dalam kandungan. “Ibaratnya,” Tika mengatakan, “minum susu itu investasi untuk si buah hati.”

Hal yang sama juga dirasakan oleh Chelsea (27 tahun), ibu muda yang sedang hamil empat bulan. Saking terobsesi, perempuan yang tinggal di Semarang ini pernah sangat merasa bersalah ketika suatu hari terpaksa hanya bisa minum segelas susu karena stok di rumah sudah habis. “Harusnya kan minimal dua gelas sehari…,” begitu alasannya, menirukan sebuah iklan.

Chelsea beranggapan, semua nutrisi yang diperlukan oleh ibu hamil dan janin sudah ada di dalam susu. “Lagipula, waktu saya bandingkan dengan merk lain yang sejenis, susu hamil yang saya minum memiliki komposisi zat gizi yang paling lengkap,” tegasnya.

Jika susu menjadi bahan makanan yang identik dengan kebutuhan ibu hamil, sekilas memang wajar. Kandungan nutrisi yang terkandung di dalam susu – terutama susu sapi - seperti kalsium, protein, lemak, vitamin, dan mineral, dianggap sudah komplit dan perlu bagi kesehatan ibu dan janin.
Jika susu menjadi bahan makanan yang identik dengan kebutuhan ibu hamil, sekilas memang wajar. Kandungan nutrisi yang terkandung di dalam susu – terutama susu sapi - seperti kalsium, protein, lemak, vitamin, dan mineral, dianggap sudah komplit dan perlu bagi kesehatan ibu dan janin.
Sayangnya, di saat yang sama, kebutuhan untuk mengkonsumsi makanan bergizi seimbang justru kurang diperhatikan. Artika dan Chelsea, misalnya, mengaku “biasa-biasa” saja bila pada hari yang sama, “lupa” mengkonsumsi tahu, tempe, ikan, kacang-kacangan, sayuran, atau buah-buahan.


Peran iklan


Meskipun memprihatinkan, fenomena semacam ini bisa dimaklumi. Produsen susu terhitung agresif menjajakan produknya. Baik yang berupa iklan di televisi, berpromosi melalui fasilitas kesehatan dan petugas kesehatan, atau pun acara bertajuk seminar ilmiah.
Memang benar, susu tersebut tidak ditawarkan secara langsung kepada konsumen. Sebagian besar justru diperkenalkan secara tersirat, dengan cara mengulas manfaat zat-zat nutrisi yang terkandung di dalamnya sambil didukung testimonial seorang public figure ternama sebagai modelnya.
Khusus mengenai susu formula untuk bayi, hal ini jelas-jelas melanggar kode etik internasional yang dicanangkan oleh badan kesehatan dunia, World Health Organization (WHO), pada tahun 1981. Di Indonesia, kode etik ini juga sudah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 237 tahun 1997 mengenai pemasaran produk pengganti ASI.
Bagi susu kehamilan, peraturan khususnya memang belum ada. Namun banyak kalangan menilai, pesan yang disampaikan dalam sebagian besar iklan susu berisiko membentuk pola pikir bahwa susu merupakan makanan ideal yang “wajib” dikonsumsi oleh ibu hamil.

Memang perlu ekstra, tapi…


Siapa pun tidak menampik bahwa kehamilan merupakan peristiwa yang sangat berharga, dan untuk menjalani kehamilan serta melahirkan bayi yang sehat, ibu harus cukup nutrisi.
Saking pentingnya, Elson M. Haas, MD, dalam bukunya Staying Healthy with Nutrition, bahkan mengatakan,  kata kunci bagi ibu hamil adalah makan. Ini disebabkan, “Saat hamil, seorang ibu memerlukan tambahan asupan kalori, protein, kalsium, zat besi, seng, vitamin B, serta vitamin lain dan mineral,” tulisnya.
Memang betul, selain makan untuk diri sendiri, ibu juga harus “memberi makan” si bayi. Namun yang harus diperhatikan, asupan tambahan itu tidak lantas berarti ibu hamil harus “makan untuk berdua”, alias mengkonsumsi makanan dengan porsi serba dobel.
Menurut Dr Ahmad Mediana, SpOG, ahli kandungan dan kebidanan dari RSIA Kemang Medical Care, Jakarta, tambahan kalori yang diperlukan oleh ibu hamil adalah sekitar 300 kkal/hari. Jumlah ini bisa diperoleh dari segelas jus alpukat tanpa gula, sebuah muffin pisang, atau sandwich gandum berisi seiris fillet ikan dan sayuran.
Kebetulan, jumlah kalori ini juga setara dengan dua gelas susu sapi. Namun, minum sedikitnya dua gelas susu dalam sehari belum menjamin kebutuhan nutrisi ibu hamil, termasuk ketika susu tersebut sudah diformulasikan dengan zat-zat tambahan yang diklaim sangat diperlukan ibu hamil.
Lagi pula, pada hakikatnya, susu merupakan makanan sementara yang diciptakan Tuhan untuk manusia, ketika gigi dan sistem pencernaan belum cukup sempurna.
Ada banyak alasan medis mengapa ASI hanya dianjurkan hingga anak berusia dua tahun. Menurut Dr Tan Shot Yen, MHum, dokter pemerhati nutrisi, itu disebabkan, mulai usia dua tahun gigi manusia mulai komplit, enzim-enzim di sepanjang saluran pencernaan telah siap, dan organ-organ di dalamnya juga sudah kuat untuk mengkonsumsi makanan padat.
Sebaliknya, pada saat yang sama, sebagian enzim yang bertugas mencerna susu sudah tidak bekerja secara optimal lagi, bahkan “pensiun”. Salah satunya adalah laktase, enzim pencerna laktosa (zat gula yang terdapat dalam susu mamalia). Beberapa gejala yang sering muncul saat minum susu, seperti mual, muntah, perut bergemuruh, kembung, diare, atau bentuk alergi lain, merupakan sinyal yang menandakan ketidakmampuan tubuh dalam mencerna laktosa.

Justru menarik kalsium 


Ironisnya, banyak ibu hamil yang minum susu karena berharap memperoleh tambahan kalsium demi mendukung pertumbuhan tulang dan gigi si janin. Jika asupannya kurang, dikhawatirkan janin akan mengambil jatah kalsium dari tulang ibunya. Kekurangan asupan kalsium pada ibu hamil ini berhubungan erat dengan risiko pre-eklamsia (tekanan darah yang melonjak secara mendadak) dan hipertensi gestasional (tekanan darah tinggi yang muncul pada masa kehamilan).
Namun perlu diingat, masalah jatah tersebut bukan berarti ibu hamil harus menambah asupan kalsium secara semena-mena. Karena Menurut Andang Gunawan, ND, ahli terapi nutrisi, mekanisme penyerapan kalsium di dalam tubuh memerlukan bantuan protein. Susu, memang mengandung kalsium sekaligus protein yang tinggi. Namun, untuk mencerna kalsium, jumlah protein ini terlalu tinggi sehingga justru menyulitkan proses penyerapan.
Organ tubuh dapat bekerja dengan baik ketika asam basa darah dan jaringan mempunyai pH 7,35-7,45. Dalam lingkungan cenderung basa tersebut, tubuh mampu mendetoksifikasi racun dan menyingkirkan zat-zat pencemaran lainnya.
Tetapi, karena susu bersifat terlalu asam, ketika kalsium yang terdapat di dalam susu masuk ke dalam darah, secara alamiah tubuh akan berusaha mengembalikan situasi “abnormal” ini dengan membuang kalsium dari ginjal, melalui urine. Inilah yang diduga menjadi alasan mengapa empat negara dengan pengkonsumsi susu terbesar di dunia, yaitu Amerika, Swedia, Denmark, dan Finlandia, justru menduduki peringkat-peringkat teratas dalam kasus osteoporosis. (N)

Penulis : Dyah Pratitasari
Simak artikel lengkapnya di Nirmala 07/Tahun 11, edar 1 Juli 2010

No comments:

Post a Comment